Justbeenpaid New Attractive 2.5% Daily plans.
PipsFund

Friday, October 23, 2009

oleh Unknown

Mentri Luar Negeri

 Nama: Dr. Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa, M.Phil, B.Sc
Nama Lengkap: Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa
Lahir: Bandung, 22 Maret 1963
Agama: Islam
Isteri: Sranya Bamrungphong
Anak: - Raden Siti Annisa Nadia Natalegawa
- Raden Mohammad Anantha Prasetya Natalegawa
- Raden Mohammad Andreyka Ariif Natalegawa
Jabatan: - Wakil Tetap RI untuk PBB, 2007- sekarang
- Duta Besar RI untuk Inggris, 2005-2007
Pendidikan:
- SD, Kris Jakarta, 1974
- SMP, Singapore International School, Singapura, 1974
- SMP, Ellesmere College, Inggris, 1978
- SMA, Concord College, Inggris, 1981
- BSc, Homour, in International Relations, London School of Economics and Political Science, University of London, 1984
- Master of Philosophy in International Relations, Corpus Christi College, Cambridge University, 1985
- Doctor oh Philosophy in International Relations, Australian National University, 1993
Dia diplomat muda yang tengah menuju puncak karir dan tampaknya tengah dipersiapkan menjadi Menteri Luar Negeri.
Setelah dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Inggris, pria kelahiran Bandung 22 Maret 1963, ini kemudian tak berapa lama diangkat menjadi Wakil Tetap Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di PBB, kiprah Dr. Raden Marty Muliana Natalegawa, M.Phil, B.Sc, cukup menonjol. Salah satu sikapnya (mewakili Indonesia) yang cukup menonjol tatkala dia satu-satunya yang bersikap abstain ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa sepakat menjatuhkan sanksi baru bagi Iran, terkait dengan masalah sengketa atom. Resolusi DK No. 1803 itu diambil lewat voting di Markas Besar PBB, New York, Selasa 4 Maret 2008 (WIB). Dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, 14 negara menyetujui, hanya Indonesia satu-satunya yang bersikap abstain.

Marty Natalegawa menjelaskan alasan dia mengacungkan tangan menunjukkan sikap Indonesia: “Tujuan dari strategi resolusi sebelumnya sudah tercapai. Iran telah bekerjasama dengan Badan Energi Atom Internasional IAEA. Pada titik ini, pemberian sanksi baru bukanlah langkah terbaik.“

Keberanian bersikap abstain dan kepiawaian berdiplomasi membuat dirinya pantas di acungi jempol, bukan oleh bangsa Indonesia saja, melainkan juga para diplomat dunia. Hal itu terbukti tatkala pada saat hampir bersamaan, 28 Februari 2008, Marty (Indonesia) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi periode 2008.

Marty Natalegawa yang sebelumnya dikenal sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 11 November 2005 hingga 5 September 2007, dipercaya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris. Suami dari Sranya Bamrungphong, ini merupakan duta besar termuda, apalagi untuk pos dubes penting, Inggris, AS dan Jepang. Dia

Dia seorang diplomat muda yang jenjang karirnya menanjak demikian cepat. Dia berhasil melintasi hambatan enjang urut kacang dan birokrasi (kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah).

Kepercayaan semakin tinggi diberikan kepadanya, dengan mengangkatnya menjadi Wakil Tetap Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sejak 5 September 2007. Dia mengoptimalkan peran Indonesia di PBB dengan jabatan itu.

Pada bulan November 2007, Marty mendapat kepercayaan penting sebagai Presiden Dewan Keamaan PBB. Kemudian, dia pun terpilih sebagai Ketua Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi periode 2008. Pemilihan ini dilakukan pada sesi pertama sidang Komite tanggal 28 Februari 2008 yang dipimpin oleh Sekjen PBB, Ban Ki-Moon.

Komite Khusus Dekolonisasi, atau dikenal juga sebagai Komite 24 (dari jumlah negara yang menjadi anggota komite ini pada masa awal pendiriannya), merupakan badan yang diberi kewenangan untuk melakukan implementasi Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi Wilayah-wilayah Jajahan dan Penduduknya.

Dalam sambutannya, Dubes Marty mengatakan, Indonesia sangat terhormat dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat internasional melalui pemilihannya sebagai Ketua Komite Khusus Dekolonisasi secara aklamasi itu. Menurut Marty, kesediaan Indonesia untuk menerima mandat sebagai ketua komite ini merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan lebih lanjut dari semangat Dasasila Bandung Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955.

Dia menjelaskan bahwa KAA telah turut meletakkan dasar bagi upaya dekolonisasi di bekas wilayah-wilayah terjajah di seluruh penjuru dunia.

Dekolonisasi merupakan salah satu mandat terpenting PBB yang paling sukses dalam pelaksanaannya, sejak PBB didirikan tahun 1945, lebih dari 750 juta jiwa umat manusia telah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri, dan lebih dari 80 wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan telah memperoleh kemerdekaan.

Hingga saat ini komite masih memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi terhadap 16 wilayah yang belum berpemerintahan sendiri (Non-Self-Governing Territories/NSGTs), yaitu Sahara Barat, Samoa Amerika, Guam, Kaledonia Baru, Pitcairn, Tokelau, Anguilla, Bermuda, Kepulauan Virgins Enggris, Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland (Malvinas), Gibraltar, Monserrat, Saint Helena, Kepulauan Turks dan Caicos, dan Kepulauan Virgin Amerika Serikat.

Sementara, negara-negara yang menjadi anggota Komite Khusus Dekolonisasi saat ini berjumlah 27 negara, yaitu Antigua dan Barbuda, Bolivia, Chile, China, Kongo, Cote d’Ivoire, Dominika, Etiopia, Fiji, Grenada, India, Indonesia, Iran, Irak, Mali, Papua Nugini, Federasi Rusia, Saint Kiits dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Sierra Leone, Suriah, Timor Leste, Tunisia, Tanzania dan Venezuela.

Marty Natalegawa menegaskan bahwa keketuaan Indonesia akan secara proaktif terus menjajaki berbagai cara inovatif dan mengembangkan opsi untuk memajukan proses dekolonisasi, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada, khususnya para penduduk di wilayah NSGTs serta negara-negara yang menjadi penguasa administratif wilayah tersebut (Administeering Power).

Menuju Puncak Karir
Marty yang dikenal sebagai sosok bersahaja dan rendah hati, selalu menempatkan diri menjadi seseorang yang bisa diperintahkan ke mana juga oleh siapa pun. Dia bukan tipe orang yang betah menunggu terus di belakang meja. Dalam perjalanan karirnya yang tergolong cepat, dia terlihat selalu tahu persis targetnya, yang dirancang dalam program.

Dari kecil, SD hingga mencapai gelar doktor, dia sudah berada dalam pergaulan dunia. Dia pernah duduk di bangku SMP, Singapore International School, Singapura, 1974, sebelum pindah ke SMP, Ellesmere College, Inggris, 1978. Kemudian dia masuk SMA, Concord College, Inggris, 1981.

Setelah itu meraih gelar BSc, Homour, in International Relations, London School of Economics and Political Science, University of London, 1984 dan Master of Philosophy in International Relations, Corpus Christi College, Cambridge University, 1985. Jadi sejak sekolah menengah pertama hingga menamatkan S2, Marty selalu bersekolah di Inggris. Gelar doktornya (Doctor oh Philosophy in International Relations) diraih di Australian National University, 1993.

Dari kecil, dia memang bercita-cita menggumuli dan berkarir di bidang hubungan internasional. Maka setelah menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia, dia pun langsung merapat ke Departemen Luar Negeri. Dia memulai karir sebagai Staf Badan Litbang, Deplu, 1986-1990.

Kala itu, pada awal memasuki lingkungan birokrasi Deplu RI, Marty mengaku sempat mengalami cultural shock, sehingga harus banyak menyesuaikan diri, namun tedak melebur diri. Misalnya, dia melihat urusan gampang dibuat jadi susah, dilempar kiri-kanan. Karena itu, sejak hari pertama masuk Deplu, dia mengatakan tidak akan membiarkan diri terbawa arus yang tidak selalu positif ini.

Dia bertekad harus punya prinsip dasar kalau melihat satu lingkungan yang tidak benar, harus berani mengoreksi. Dia bertekad harus berani mencoba mengubah, yang dimulai dari diri sendiri. Dia memberi misal, sikap birokrat yang menutup diri, minta dilayani, yang sudah begitu mengakar dalam sistem birokrasi kita. Harus diubah, dan kalau ingin berubah, harus mulai dari diri sendiri.

Prinsip ini selalu ditularkan kepada rekan dan staf di lingkungan kerjanya. Kalau sedang sidang, kadang dia minta teman membacakan kertas posisi.

Pengalaman seperti ini, menurutnya, penting karena pengalaman tidak tergantung usia. Ada yang sudah senior, tetapi kalau tidak pernah belajar ya begitu-begitu saja.

Menurutnya, siapa pun bisa mendapat pengalaman dengan cepat, padat, dan singkat kalau mau berpihak pada tanggung jawab yang terus-menerus. Karena itu, tak heran bila di Deplu dia bisa meraih jenjang karir dengan sangat singkat. Dia melihat karena di Deplu ada faktor kevakuman pada tahap tertentu, jadi harus dipadatkan proses membangun pengalamannya. "Kalau mau terus ”urut kacang”, bagi intern tidak apa-apa. Tetapi, ketika harus berinteraksi dengan negara lain akan kelihatan," urainya.

Walaupun pernah dikabarkan, Marty sempat menjadi korban urut kacang dalam menapaki jenjang karirnya. Namun, dia menyebut bukan korban, tetapi memang dalam birokrasi ada aturan. Justru dia merasa sebaliknya. Menteri memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun yang dianggap punya kemampuan memikul tanggung jawab lebih.

Pengalaman Marty dalam menapaki jenjang karirnya, patut mendapat catatan tersendiri. Dalam lingkungan birokrasi yang kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah dan jenjang karir urut kacang, dia berhasil melewati semua hambatan itu dengan gemilang.

Setelah beberapa tahun menjadi staf Badan Litbang, 1986-1990, dia ditugaskan menjadi staf (tanpa jabatan) di Perwakilan Tetap RI (PTRI) pada PBB, New York. Kemudian menjadi kepala seksi, lalu kasubdit, dan kepala bidang, yang tahapannya selalu menjadi acting atau pelaksana. Selalu dia terlebih dahulu menunjukkan kemampuan dalam melaksanakan berbagai tugas, baru kemudian jabatannya diformalkan.

Setelah menampakkan kemampuan sebagai Kepala Bidang Politik II, Perwakilan Tetap RI pada PBB, New York, 1997-1999, dia pun ditarik menjabat Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional, Deplu, 2000-2001. Tidak berapa lama, dia diangkat menjabat Direktur Organisasi Internasional, Deplu, 2001-2002.

Tidak berapa lama juga dia dipercaya menjabat Kepala Biro Administrasi Menlu sekaligus merangkap Juru Bicara Deplu, 2002-2004. Dalam posisi itu, dia pun dipercaya menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN/Juru Bicara Deplu, 2003-2005.

Saat dia diberi tugas rangkap pelaksana tugas Dirjen ASEAN, Kepala Biro Administrasi Menteri, dan Juru Bicara Deplu, dia melakoninya dengan sangat baik. Dia tidak pernah melihatnya sebagai masalah. Bahkan namanya pun makin poluler di mata publik dalam dan luar negeri. Sebagai juru bicara Deplu, dia menunjukkan dirinya sebagai seorang diplomat muda yang berpotensi menduduki jabatan puncak di Deplu.

Maka tidak heran bila banyak pihak yang menaruh harapan, bahwa dalam posisinya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris, dia akan berhasil membuat hubungan bilateral Indonesia-Inggris dalam posisi saling menghormati dan saling menguntungkan.

Dalam hal jenjang karirnya, Marty dalam wawancara dengan Kompas menyebut satu hal yang ingin saya sampaikan, bila saya telah membuka ”pintu” untuk aplikasi sistem yang selalu Pak Menlu bilang meritocracy—yang mampu diberi tanggung jawab lebih—saya ingin pintu itu dibuka semakin lebar. Jangan setelah saya lewat dan menikmati sistem itu pintu cepat-cepat ditutup rapat lagi.

Karena saya yang menjadi kasus pertama, saya merasa yang penting bukan hanya mampu secara substansi, tetapi juga cukup humble untuk tidak merasa menjadi orang penting berlebihan. Yang penting amanat pekerjaan, kita bukan apa-apa. Karena kadang orang bila dikasih tugas malah menikmati pernik-pernik yang melekat pada jabatan itu dan justru melupakan pekerjaannya.

Juga jangan sampai merusak ”pasar” sehingga orang akan bilang, lihat kalau seorang relatif muda diberi tanggung jawab lebih dia tidak bisa karena substansinya. Atau kalau bisa menjadi berlebihan sehingga tidak cukup matang mengemban tanggung jawab seperti ini. Jadi, semakin tugas dan tanggung jawab kita banyak, seharusnya kita semakin merunduk.

Pos Penting
Inggris tergolong pos penting untuk Indonesia karena berbagai pertimbangan. Antara lain: Inggris adalah penanam modal terbesar kedua di Indonesia setelah Jepang sejak tahun 1967; Inggris anggota tetap Dewan Keamanan PBB; London sebagai salah satu kota keuangan terpenting di dunia; surplus perdagangan Indonesia dengan Inggris; dan Inggris sebagai bagian dari komunitas Eropa.

Mantan Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN, Deplu, bernama lengkap Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa, ini menduduki pos penting tersebut merupakan tantangan yang diperkirakan akan mengantarkannya ke jabatan penting pada masa mendatang. Jika berhasil, dia kandidat Menteri Luar Negeri beberapa tahun mendatang (2009).

Menurut Marty dalam wawancaranya dengan Kompas (Kompas 12 Desember 2005), secara bilateral Inggris pasti penting penting karena ”3 in 1”. Yakni, pertama, dia anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang punya kemampuan memengaruhi debat di DK. Jadi, kalau kita menjalin hubungan ini dengan benar, kita mendapat DK juga.

Kedua, Inggris juga penting dalam konteks Uni Eropa (UE). Di UE ada tiga kubu: Inggris, Perancis dan Jerman, serta anggota baru. Visi Eropa, Inggris, ke depan adalah inklusif, lebih modern, kebijakan sosial dan pertanian lebih terbuka. Jadi, bila kita berhubungan baik dengan Inggris kita juga menjalin hubungan baik dengan UE. Belum lagi hubungan historisnya dengan Amerika Serikat.

Ketiga, London sebagai kota keuangan. "Saya mengutamakan posisi London dalam bidang keuangan dan meyakinkan mereka Jakarta adalah tempat di mana kegiatan terjadi bila ingin sesuatu yang lebih menarik dengan potensi keuntungan luar biasa,".

Ketiga, Inggris peduli pada penyelesaian masalah Timur Tengah dan berharap kepada Indonesia untuk ikut berperan dalam penyelesaian konflik di sana.

Marty juga mengedepankan apa yang akan segera diakukan dalam posisinya sebagai Dubes untuk Inggris. Dia menyebut rencana sangat sederhana, tetapi esensial. Pertama, meningkatkan profil Indonesia di Inggris. Sebab dalam pengamatannya, jika Inggris membayangkan Asia atau Asia Timur yang pertama akan tampil dalam radar skema politik dan ekonomi mereka adalah negara seperti India karena ada ikatan kultur dan sejarah. Kalau Asia Tenggara pasti Malaysia dan Singapura. Karena itu, dia ingin mencoba memastikan Indonesia ada di dalam radar itu.

Dia melihat modal dasarnya sudah ada. Ketika terjadi tsunami bantuan masyarakat Inggris adalah salah satu yang terbesar dari seluruh dunia, bahkan jauh lebih besar dari bantuan pemerintahnya. Ini satu indikasi sebenarnya orang Inggris bisa digerakkan.

Marty juga menyebut salah satu aset politik luar negeri kita adalah Indonesia yang demokratis dan moderat. Ini sangat relevan dalam konteks hubungan Indonesia-Inggris, terutama karena Inggris memiliki kehendak baik dari pemerintah maupun masyarakatnya kepada Indonesia.

Sementara tantangan utamanya adalah bagaimana mencapai ”progress beyond polite words”. Menurutnya, kita harus tampil proaktif dengan konsep bila bicara hal konkret peningkatan investasi, perdagangan, pariwisata, yang sebenarnya sangat generik dan berlaku di semua perwakilan.

Di samping itu, tantangan lainnya dalam politik, Marty melihat masalah Papua. Menurutnya, bila kita tidak rapi menyelesaikan Papua akan ada potensi. Sepanjang ada kelompok masyarakat yang punya pandangan tertentu, mereka akan terus. Ini yang harus dipastikan agar teman-teman ini sampai pada pandangan yang sama mengenai Papua. Tetapi, juga jangan membangunkan macan tidur.

Suami dari Sranya Bamrungphong ini melihat hubungan Indonesia-Inggris tidak ada yang rusak dan berkembang cukup konsisten.

Bila membandingkan dengan negara tetangga, misalnya hubungan Inggris dengan Malaysia, Thailand, dan negara lain di sekitar kita, terlihat betapa sebenarnya banyak ruang membuat hubungan Indonesia-Inggris lebih baik. Namun, menurutnya, jangan terlalu puas diri karena risikonya hubungan kedua negara menjadi relatif, bahkan jika dibanding dengan negara lain, semakin tertinggal.

Sedangkan mengenai targetnya, Marty menyebut pariwisata. Mantan Direktur Organisasi Internasional, Deplu (2001-2002) yang mengecap pendidikan SMP (1978), SMA (1981) hingga meraih Master of Philosophy in International Relations (1985) di Inggris, itu menyebut bahwa di Inggris ada konsep gap year students, yaitu anak-anak muda Inggris yang setelah lulus SMA tidak langsung kuliah tetapi ingin memperoleh pengalaman dulu satu tahun untuk melakukan hal bermanfaat, biasanya mengajar bahasa Inggris di luar negeri.

Menurutnya, mereka pasti lebih ada sense of adventure, tidak usah dengan kenyamanan dan tingkat keamanan tinggi. Maka dia melihat kita bisa mengemasnya ke Indonesia untuk enam bulan. Perlahan-lahan, mereka nantinya akan menjadi orang penting di Inggris dan kita sudah memiliki konstituen yang berpengalaman dengan Indonesia.

Selain itu, katanya, orang Inggris yang mendekati usia pensiun. Mereka sering menghabiskan musim dingin di negara tropis. Setahu Marty, Malaysia membuat berbagai kemudahan untuk menangkap komunitas ini. "Saya ingin tahu apa yang memungkinkan Malaysia melakukan itu. Seandainya ada hambatan, tugas sayalah memberi tahu pusat dan instansi terkait sebenarnya ada potensi sekian ribu wisatawan untuk masa kunjungan cukup lama, jika kita bisa menyesuaikan beberapa kebijakan kita," ujarnya.

Di Inggris sudah ada puluhan asosiasi persahabatan Indonesia-Inggris, terutama di bidang sosial-budaya. Kalau tidak salah, keanggotaannya terbentuk karena ada ikatan keluarga, entah istri atau suaminya orang Indonesia. Saya rasa keanggotaan ini perlu diperluas konstituennya.

Sementara mengenai Papua, Marty berencana akan mengajak kelompok-kelompok seperti amnesti internasional berdiskusi. Dalam posisi tidak duta besar (dubes) pun dia sudah pernah melakukannya. Saat SMP (di luar London) dan usia saya 13 tahun. Waktu itu ada acara sekolah berkunjung ke British Museum di London. Ketika ada waktu luang satu jam, dia memilih langsung ke Kantor Amnesti Internasional tanpa ditugasi siapa pun. Dia ingin tahu apa yang menjadi keprihatinan mereka. "Apalagi sekarang (dalam posisi dubes), mungkin mereka akan bosan melihat saya," katanya.

Sebelum menempati posnya di London itu, Marty lebih dulu bertemu orang-orang Inggris di Jakarta. Dia minta tolong diberi daftar orang yang harus ditemui.

Dukungan Keluarga
Pengalamannya hidup di asrama selama sekolah di Inggris sangat berguna dalam pembentukan pribadinya yang mandiri dan bekerja dengan tim. Di asrama Inggris itu di satu pihak sangat mengutamakan senioritas, tetapi di lain pihak juga sangat egaliter dalam pengertian ada spirit tim yang sangat kuat.

Ketika study di Inggris itu pula Marty bertemu seorang gadis cantik berdarah Thailand, Sranya Bamrungphong, yang juga bersekolah di London School of Economics and Political Science, University of London. Mereka pun menikah dan dikaruniai tiga anak yakni Raden Siti Annisa Nadia Natalegawa, Raden Mohammad Anantha Prasetya Natalegawa dan Raden Mohammad Andreyka Ariif Natalegawa,

Semasa Marty bertugas di Jakarta, Sranya mengisi waktunya dengan mengajar di sebuah sekolah di Jakarta Selatan.

Marty merasa mendapat dukungan penuh dari keluarga dalam setiap pelaksanaan tugas dan jabatannya. Dia merasa beruntung karena keluarganya memang keluarga diplomat. Menurutnya, salah satu ciri yang dimiliki keluarga diplomat adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan, situasi, dan perubahan.

Dia pun selalu menanamkan kepadanak-anaknya untuk melihat sisi positifnya, bahwa dalam arti tidak semua orang punya kesempatan mengalami hidup di luar negeri dengan segala konsekuensinya ke dalam.

Apalagi isterinya, Sranya, yang juga dari keluarga diplomat. Sranya merasa sudah terbiasa. Bahkan ketika Sranya memutuskan menikah dengan Marty, Ayahnya mengatakan karena kalian dari kultur berbeda, maka harus seperti air. Ada karakter, tetapi harus bisa berada di mana pun. Alhamdulillah anak-anak umumnya baik. Barangkali karena kami selalu membicarakan apa pun dengan mereka.

Marty menimpali, kami terbuka. Dia memberi contoh, saat putri pertamanya, Annisa, menjelang memilih universitas, memilih sekolah yang kebetulan mahal. Marty lalu tanya ke Sranya, bagaimana. "Bagi kami pendidikan segala-galanya. Saya mau hidup kekurangan, tetapi pendidikan nomor urut satu, dua, ketiga, dan terus ke bawah."

Pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa diambil dari kita. Kalau jabatan, harta, bisa dicopot. Anissa akhirnya memilih ke School of Oriental and African Studies, University of London, tanpa kami tahu sebelumnya kami akhirnya akan ke Inggris.  ►e-ti/crs, dari berbagai sumber

1 komentar:

Anonymous said...

Men's Silver Wedding Rings
Since ancient pandora jewellery times, jewelry cheap pandora has played an important cheap pandora uk role in romantic relationships, and pandora discount uk the wedding band has played pandora uk an integral part in pandora charm symbolizing the discount pandora charms permanence and sincerity of marriage. For a while there, men could only find a wedding ring in various grades of gold; but today there are several other options including platinum, sterling silver, titanium, and tungsten. There are certain guidelines that your jeweler needs to follow when placing a gemstone together with a solitaire ring.The diamond ring should have pandora silver charms 4 to 6 prongs to be able to hold the gemstones together. Remember that a bezel setting is better than a prong setting because it is a more secure and is less likely to be damaged. Also, a heavier setting is much safer than a lower and lighter setting in jewelry, because heavier engagement rings and diamond bands them to being more durable than lighter ones.The last charm bracelet pandora thing to consider when buying solitaire rings is making sure the ring looks good on you.However, silver wedding rings are more popular than ever. They come in several pandora sale charms different styles and patterns, are affordably priced, and made from .925 grade silver. This high quality silver is 92.5% pure silver with about 7.5% copper. Silver rings can be designed with a classic domed profile, with a brushed or polished face, with raised or beveled edges and much, much more. Why buy silver wedding rings?

Post a Comment

Tinggalkan Pesan Anda

Perpustakaan Online

Blogger Indonesia A. Fatih Syuhud Weblog